Korantalk.news - panjang kasus pelecehan hingga kekerasan seksual yang terjadi akhir ini telah mencoreng reputasi dunia pendidikan tanah air.
Ruang sekolah, kampus, bahkan pondok pesantren yang seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk menimba ilmu pengetahuan kini tidak lagi menjadi tempat aman dan 'steril' dari hunter seksual.
Menurut information Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dalam rentang waktu 2015-2021, terdapat 67 kasus kekerasan seksual. Perguruan tinggi sebagai penyumbang kasus terbanyak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, menyebutkan setidaknya sepanjang Januari-Juli 2022, terdapat 12 kasus kekerasan seksual di sekolah.
Sebanyak 25 persen di antaranya terjadi di dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 75 persen di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Kasus yang mencuat belakangan ini di antaranya pemerkosaan santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyah-Jombang dan Pondok Pesantren Madani-Bandung hingga dugaan pelecehan seksual yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia-Malang.
Penanganan kasus berjalan lambat
Meskipun banyak kasus telah dilaporkan, menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, penanganan kasus kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah berjalan sangat lambat, khususnya dalam klaim keadilan dan pemulihan korban (VOA, 12/04/2022).
Ironisnya lagi, di beberapa kasus, masyarakat bahkan mencoba menghalangi penangkapan pelaku hanya karena pelaku merupakan tokoh penting dan berpengaruh sehingga mengabaikan hak korban.
Alasannya, menurut Aminah, begitu kuatnya relasi kuasa dari para pelaku, ditambah lagi banyak masyarakat lebih memercayai seseorang yang memiliki otoritas keilmuan dan keagamaan sehingga mengabaikan hak korban.
Tidak hanya itu, respons yang lambat dari pihak institusi pendidikan untuk menangani kasus kekerasan seksual juga menjadi hambatan tersendiri karena alasan menjaga nama baik lembaganya di mata publik.
Ditambah lagi, adanya sanksi sosial berupa stereotip negatif dari masyarakat kepada korban dan penyintas kejahatan seksual, khususnya bagi korban perempuan, sehingga membuat korban tidak berdaya dan banyak yang memilih untuk bungkam dan tidak melaporkan kasusnya.
Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi?
Kekerasan seksual, dalam pandangan Foucault (dalam Gordon, 2018), bisa terjadi karena tiga variabel penting, yakni kekuasaan, konstruksi sosial dan target kekuasaan.
Terkait dengan kekuasaan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah salah satu alasan kuat terjadinya pelecehan seksual
Misalnya dalam konteks lembaga pendidikan, master yang melakukan kejahatan seksual kepada muridnya terjadi karena ia merasa memiliki kekuatan dibandingkan muridnya, dan di banyak kasus sudah sering terjadi.
Ditambah lagi dengan adanya konstruksi sosial dalam kerangkeng budaya patriarki yang menempatkan posisi laki sebagai 'unrivaled' dibandingkan perempuan yang 'submisif' sehingga menghalalkan pelecehan seksual (Fushshilat dan Apsari, 2020).
Tidak hanya itu, budaya casualty accusing (menyalahkan korban) juga menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual.
Banyak korban pelecehan seksual yang enggan melaporkan kasusnya dengan alasan takut disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga sikap sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pelecehan seksual.
Dengan alasan ini tentunya pelaku merasa diuntungkan karena korban akan menjadi target ideal sebagai pihak yang disalahkan.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memerangi kejahatan seksual?
Memerangi kejahatan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan adalah hal wajib dan tanggung jawab bersama.
Namun mencegah dan menangani kasus kejahatan seksual bukanlah hal mudah dan perlu melibatkan banyak pihak.
Beberapa upaya dan strategi bisa dilakukan untuk memerangi kejahatan di lingkungan pendidikan, antara lain:
Permendikbud 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan harus terus disosialisasikan kepada Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia. Mirisnya masih banyak yang belum mengetahui peraturan tersebut.
Regulasi serupa juga seharusnya dilakukan oleh Kementerian Agama untuk memastikan terdapatnya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.
Melalui kritikannya, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menilai Kementerian Agama lambat merespons dan membuat regulasi atau aturan khusus untuk mencegah kejahatan seksual, sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terus terjadi (CNN, 21/07/2022).
Masih terkait dengan regulasi, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga harus terus disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk membantu korban supaya bersuara tentang kekerasan yang dialaminya.